Thursday, 30 June 2011

Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah


STRATEGI DAN IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DI SEKOLAH MENENGAH
Oleh
Kepala Sekolah SMA Taruna Nusantara
Disampaikan pada acara kunjungan Guru, Kepala Seklah Berprestasi Se-Jateng


I. PENDAHULUAN

1.            Latar Belakang Masalah
          Proses globalisasi yang terus bergulir, diiringi dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) memungkinkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang berdampak luas terhadap eksistensi dan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari aspek eksternal, globalisasi menimbulkan pertemuan antar-budaya (cultural encounter) bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Dengan dukungan kemajuan teknologi informasi, kini batas-batas antar-negara dan antar-bangsa menjadi semakin kabur, yang diiringi dengan semakin kaburnya identitas budaya dan karakter suatu bangsa. Kondisi ini berakibat pada terjadinya sengketa norma dan kegoyahan nilai, yang selama ini diyakini dan dijunjung tinggi oleh suatu entitas yang kita kenal dengan ”negara-bangsa”. Dengan kata lain, globalisasi berdampak pada terjadinya perubahan sosial (social change)  besar-besaran, yang belum tentu semua perubahan itu ”kongruen” dengan kemajuan sosial (social progress).
Dari aspek internal, kondisi objektif bangsa Indonesia yang memang sejak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan negara-bangsa yang dibangun di atas keragaman dan perbedaan, yakni perbedaan suku, agama, ras, etnis, budaya, dan lain-lain. Keragaman ini bak pedang bermata dua, satu menuju ke arah sasaran dan satu menghadap ke ulu hati kita. Di satu sisi, jika mampu mengelolanya dengan baik, maka keragaman ini akan menimbulkan keindahan dan harmoni bagaikan simfoni orkestra yang terdiri atas beragam alat musik yang memiliki karakteristik berbeda. Sebaliknya, jika kita tidak mampu mengelolanya, maka keragaman ini justru akan menjadi pedang yang mengincar ulu hati kita, karena keragaman itu memiliki potensi memunculkan perselisihan dan sengketa yang mengarah ke perpecahan dan disintegrasi bangsa. Arus globalisasi akan dapat memperparah kondisi semacam ini.

            Secara sosiologis dan psikhologis, selain masyarakat luas, komunitas yang paling mudah terkena pengaruh fenomena global itu adalah kalangan generasi muda, khususnya para remaja, sebagai salah satu fase kehidupan pancaroba yang labil dan fase pencarian identitas diri. Fenomena ini sesungguhnya menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Jati diri bangsa kini sedang diuji keampuhannya. Apakah globalisasi akan berakibat pada kemerosotan atau degradasi nilai yang bermuara pada terjadinya krisis nilai dan krisis identitas bangsa. Atau sebaliknya, kita akan dengan arif dan bijaksana menyikapi situasi ini dan mengambil tindakan yang tepat demi masa depan  kita.
Di sinilah letak penting dan sentralnya peran dunia pendidikan dalam membawa para remaja khususnya dan generasi muda pada umumnya, untuk menuju ke arah perubahan sosial yang sekaligus bermakna kemajuan sosial dan kemajuan bangsa. Pendidikanlah yang akan menjadi penentu masa depan bangsa dan negara kita ke depan.
            Namun, di sisi lain, berbagai kalangan menilai, potret dunia pendidikan kita sampai saat ini masih tampak buram. Pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini ditengarai semakin sarat dengan muatan-muatan materialistik yang mengesampingkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti serta pembentukan karakter bangsa. Tuntutan silabus pendidikan yang dominan pada aspek intelektual akademik membawa arah pendidikan kita menjadi pincang dan kurang sejalan dengan keinginan idealistik di atas. Padahal, kita semua menyadari bahwa pendidikan sesungguhnya bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan sekaligus transfer nilai (transfer of value). Hakikat pendidikan adalah sebuah rekayasa sosial (social engineering) dan rekayasa budaya (cultural engineering) untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945. Dengan demikian, pendidikan karakter bangsa sesungguhnya merupakan pilar penyangga bagi tegaknya pendidikan di Indonesia.
            Berangkat dari latar belakang pemikiran itulah, kita perlu duduk bersama untuk merumuskan, bagaimana selayaknya wajah pendidikan kita yang ideal. Arus perubahan global ini sesungguhnya mengarahkan kita untuk memandang ke depan dengan dimensi idealistik. Namun, pada saat yang sama diperlukan pertimbangan yang realistis dan pragmatis, agar harapan dan idealisme kita ke depan tidak berhenti pada utopia dan harapan kosong tetapi menjadi kenyataan. Di sinilah entry point kita bahwa core business pendidikan kita bukan lagi hanya pada aspek intelektual, melainkan pada pendidikan karakter bangsa.
2.            Tujuan
Setelah kita sadari bersama, bahwa pendidikan karakter bangsa merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana konsep pendidikan bangsa yang tepat bagi Indonesia, bagaimana strateginya, bagaimana implementasinya, bagaimana dampak-dampak iringan (nurturant effect) yang mengikutinya, dan sebagainya.
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan strategi dan implementasi pendidikan karakter bangsa di sekolah menengah, berdasarkan pengalaman empirik selama dua puluh tahun kami mengelola SMA Taruna Nusantara (SMA TN), sebagai salah satu model, yang dirancang oleh para founding fathers dengan latar belakang pemikiran, bahwa kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dunia pendidikan dalam mempersiapkan generasi mudanya di masa mendatang dengan bekal yang komprehensif yang meliputi aspek intelektual akademik, aspek kepribadian-karakter bangsa, dan aspek kesamaptaan jasmani.
Sebagai paparan pengalaman empirik, makalah ini tidak banyak mengemukakan dimensi teoretik. Namun bukan berarti mengesampingkannya. Paparan mengenai kerangka teori dimaksudkan sebagai pijakan berpikir dan konsep yang menyangga langkah-langkah pragmatik yang dilakukan di lapangan selama ini.



















II. KAJIAN PUSTAKA

3.          Pengertian Pendidikan Pembentukan Karakter Bangsa
          Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan berkembangnya kecerdasan dan kemampuan intelektual akademik, ranah afektif bermuara pada terbentuknya karakter kepribadian, dan ranah psikhomotorik akan bermuara pada keterampilan vokasional dan  perilaku.
Dalam pembentukan karakter, Ki Hajar Dewantara (1967) mengungkapkan bahwa pembentukan karakter adalah upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban masyarakat dan bangsa secara umum. Pendidikan pembentukan karakter merupakan upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik atau positif pada diri anak sesuai dengan etika moral yang berlaku. Anak tidak hanya tahu apa yang seharusnya dilakukan tetapi  juga memahami mengapa hal tersebut dilakukan, sehingga anak akan berperilaku seperti yang diharapkan.          
Pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan nasional inilah yang menjadi landasan pengembangan pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan karakter bersifat terus menerus dan berkelanjutan (continuous)  dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi agar terinternalisasi dengan baik dalam diri anak, dengan tahapan sebagai berikut.
a.    Pada usia 5-8 tahun ditanamkan nilai-nilai yang bersifat global dan spontan.
b.    Pada usia 9-12 tahun pendidikan karakter berupa nilai-nilai hakikat kebenaran berupa baik atau buruk.
c.    Pada usia 14-16 tahun anak mulai dilatihkan berbagai perilaku berupa kebaikan betapapun beratnya.
d.    Pada usia 17-20 tahun anak dibiasakan tidak hanya berbuat baik tetapi juga menyadari maksud dan tujuan suatu sikap.       
Keberhasilan pendidikan karakter tidak hanya ditentukan oleh besarnya peranan pendidik dalam memberikan pengajaran atau bimbingan tetapi juga ditentukan oleh lingkungan sosial dalam memberikan situasi yang kondusif dalam pengembangan karakter. Nilai-nilai tersebut tidak hanya cukup  disampaikan dan konseptual, tetapi dibutuhkan latihan yang terus menerus dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
  
4.       Nilai-nilai Yang Perlu Ditanamkan, Ditumbuhkan Dan Dikembangkan
Nilai-nilai yang dikembangkan tersebut tidak lepas dari budaya bangsa. Budaya bangsa merupakan sistem nilai yang dihayati, diartikan sebagai keseluruhan sistem berfikir tentang tata nilai, moral, norma dan keyakinan manusia yang dihasilkan masyarakat. Dengan membiasakan berbuat sesuatu sesuai dengan tata nilai atau norma moral yang ada dan telah disepakati, maka nilai-nilai tersebut lama kelamaan akan menjadi bagian dari dirinya. Dalam pendidikan pembentukan karakter bangsa, nilai-nilai yang harus ditumbuhkembangkan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.            Nilai keagaman dan religiusitas adalah nilai yang berakar pada agama dan kepercayaan masing-masing. Di sini tidak diartikan sebagai pelajaran atau pendidikan agama. Nilai-nilai religius adalah nilai yang paling fundamental dalam penghayatan kehidupan manusia di hadapan sang Pencipta.
b.           Nilai dasar adalah nilai yang terkandung dalam dasar dan falsafah negara: Pancasila dan UUD 1945. Sikap, perilaku, dan tindakan peserta didik dijiwai oleh nilai-nilai yang terdapat pada sila-sila dalam  Pancasila dan UUD 1945.
c.            Nilai kemasyarakatan, berupa nilai moral, etika, dan etiket yang berlaku dalam masyarakat setempat. Bila nilai-nilai masyarakat ini telah terinternalisasi dalam diri anak, ia akan memiliki adab, budaya, dan susila yang baik sebagai anak yang berkepribadian luhur.
d.          Nilai kenegaraan adalah nilai yang menyangkut kecintaan terhadap tanah air dan bangsanya. Nilai-nilai ini dapat dikembangkan melalui berbagai kegiatan yang  mampu menggugah rasa kebangsaan dan nasionalisme pada diri anak, sehingga tumbuh kebanggaan, mencintai, dan menghargai tanah air dan budaya bangsanya, tanpa meremehkan budaya bangsa lain.

5.          Esensi Pendidikan Karakter Bangsa
Bahwa karakter diyakini sebagai keadaan psikho-fisis yang dapat ditumbuhkembangkan dengan upaya komprehensif. Sebagai gejala psikhologi, karakter setiap individu akan berubah sesuai dengan proses perjalanan kehidupan yang amat dipengaruhi oleh kecenderungan lingkungan. Perubahan menuju ke arah karakter yang diinginkan diibaratkan sebagai beras yang ditumbuk. Bahwa sesungguhnya putihnya beras bukan karena tertumbuk oleh “alu” (antan) atau penumbuknya, melainkan karena bergesekan dengan sesamanya. Sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, peserta didik memerlukan situasi pendidikan yang mendorong dirinya untuk mampu berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. Oleh karena itu, pendidikan merupakan upaya sadar dalam membangun kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadi interaksi peserta didik secara komprehensif.
Untuk mencapai arah yang diinginkan perlu tahap-tahap yang harus dilalui sesuai dengan perkembangan dan kematangan anak secara individu dan sosial. Pendidikan menengah atas (SMA) merupakan tahap yang cukup strategis dalam melakukan upaya pendidikan karakter bangsa, mengingat mereka sedang memasuki usia remaja sebagai fase pencarian bentuk dan jati diri. Jika posisi strategis ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pemangku kepentingan pendidikan, tidak ayal jika tujuan pendidikan karakter bangsa akan dapat dicapai secara optimal, tanpa mengesampingkan pendidikan pada level di bawah dan di atasnya.  Bahkan keberhasilan pendidikan karakter bangsa hanya dapat dicapai melalui kesinambungan tripusat pendidikan yang komprehensif yakni, pendidikan informal dalam keluarga, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan non formal dalam masyarakat.










III.  STRATEGI DAN IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN  KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA DI SEKOLAH MENENGAH

6.      Strategi
           Suatu bangsa yang ingin mempertahankan dan melestarikan jati diri budaya bangsa pada setiap generasinya perlu memiliki strategi pembentukan karakter melalui pendidikan. Pada dasarnya pendidikan adalah upaya yang secara sadar dan sistematik dilakukan untuk mengubah sikap perilaku peserta didik ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Pembentukan  karakter menjadi salah satu bagian penting dari tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan.   Karakter  seseorang merupakan sifat atau watak yang muncul sebagai hasil interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Karena itu strategi pendidikan yang menyangkut pembentukan karakter budaya bangsa perlu mengarah pada sisi internal peserta didik yang harus berimpit dengan nilai-nilai budaya bangsa dan sisi eksternal peserta didik yang kondusif dan mendukung implementasi nilai-nilai tersebut. Strategi pembentukan karakter  dalam pendidikan di SMA terdiri atas dua bagian. Pertama  internalisasi nilai-nilai yang bersifat mentalistik atau rekayasa secara mental. (mental engineering). Kedua aktualisasi nilai-nilai yang bersifat  kondisional dan penciptaan kondisi sosial atau rekayasa sosial (social engineering).

            a.   Strategi Rekayasa Mental (Mental Engineering)
Startegi ini berupa langkah-langkah untuk melakukan internalisasi nilai-nilai budaya dasar bangsa yang harus dikembangkan melalui pendidikan karakter. Strategi ini perlu dijalankan secara sistematis, berjenjang, terus-menerus dan berkelanjutan melalui berbagai kegiatan pendidikan baik kegiatan yang langsung dan berdiri sendiri berupa penyampaian nilai-nilai maupun nilai-nilai diintegrasikan bersama-sama dengan berbagai kegiatan pendidikan lainnya.
Sasaran strategi ini adalah agar setiap peserta didik memiliki visi, interpretasi,  dan persepsi yang benar tentang nilai-nilai dasar budaya bangsa yang harus dipahami dan dihayati. Oleh karena itu bentuk strategi pertama ini cenderung pada penanaman pemahaman akan konsep dan hakikat nilai-nilai tersebut melalui berbagai tahapan pendidikan.


b.  Strategi  Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Strategi internasilasi nilai-nilai yang telah dilakukan perlu dilanjutkan dan diperkuat dengan strategi aktualisasi nilai-nilai dalam interaksi sosial. Karakter merupakan hasil interaksi  secara sosial dengan lingkungan baik lingkungan manusia maupun non manusia. Strategi ini berupa langkah-langkah penciptaan kondisi lingkungan yang mendukung implementasi nilai-nilai yang telah tertanam pada diri peserta didik. Oleh karena itu penciptaan lingkungan harus mengacu pada tata nilai dan norma yang telah diinternalisasikan. Diupayakan sejauh mungkin  sinkron atau sesuai antara nilai-nilai ideal dengan realita yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh peserta didik di lingkungan kehidupan kesehariannya.

7.         Implementasi 
            Sebagaimana dijelaskan dalam kajian teori, implementasi pembentukan karakter dan budaya bangsa dilakukan dalam tripusat pendidikan secara terpadu, yakni pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pada usia dini atau usia bermain sampai dengan taman kanak-kanak, pendidikan pembentukan karakter dan budaya bangsa dapat dilakukan dalam keluarga oleh ayah maupun ibunya, tetapi pada saat anak sudah memasuki usia sekolah, maka pendidikan karakter dan budaya bangsa dapat dilanjutkan di sekolah. Namun demikian bukan berarti orang tua atau ayah dan ibunya berhenti dan melepaskan serta menyerahkan pendidikan pembentukan karakter dan budaya bangsa kepada sekolah, tetapi pendidikan pembentukan dari keluarga tetap berjalan, jadi nilai-nilai yang sudah ditanamkan tidak hilang begitu saja karena pengaruh lingkungan yang ada di sekolah, orang tua tetap bertanggung jawab atas pendidikan pembentukan tersebut. Kemudian dilanjutkan oleh masyarakat, yaitu pada saat anak berada di rumah atau di masyarakat. Di tiga tempat inilah anak akan menerima pendidikan sehingga terbentuklah karakter yang diharapkan. Implementasi pendidikan pembentukan karakter budaya bangsa di SMA berupa penjabaran dari strategi rekayasa mental dan rekayasa sosial.

a.   Implementasi Stratategi  Rekayasa Mental (Mental Engineering)
Implementasi strategi rekayasa mental  atau internalisasi nilai-nilai dilakukan  melalui proses integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, integrasi dalam budaya sekolah.



1)  Integrasi Dalam Mata Pelajaran
Kegiatan pendidikan di SMA yang menggunakan persentase  waktu, perhatian dan energi  terbanyak adalah proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Oleh karena itu proses pembelajaran adalah wahana yang tepat untuk melakukan rekayasa mental agar terjadi internalisasi nilai-nilai budaya bangsa pada diri para siswa. Pada setiap mata pelajaran guru perlu memiliki misi untuk menyisipkan atau menyampaikan pesan-pesan moral yang berdasar pada nilai-nilai budaya dasar bangsa.
Nilai-nilai tersebut  bisa disampaikan secara intelektualistik  pada saat mengawali atau mengakhiri proses pembelajaran yang salah satu kegiatannya adalah guru memberikan wawasan, motivasi dan penguatan pada siswa. Dapat juga disisipkan di sela-sela penyampaikan materi ajar. Misalnya dalam pelajaran kimia ketika menjelaskan tentang senyawa-senyawa karbon dapat disampaikan agar siswa mengurangi emisi karbon dioksida dengan tidak membakar sampah, menghemat bahan bakar, dan ikut aktif dalam penghijauan. Hal ini untuk menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan. Dalam pelajaran biologi misalnya menjelaskan karbohidrat sebagai sumber energi,  dapat diberikan wawasan bahwa Indonesia kaya umbi-umbian sumber karbohidrat yang semakin ditinggalkan masyarakat yang justru semakin tergantung pada gandum import. Dengan mempelajari dan memelihara  keanekaragaman tanaman sumber pangan akan memperkuat ketahanan pangan  sebagai bagian dari ketahanan nasional. Implementasi ini akan memberikan hasil optimal apabila integrasi pada proses pembelajaran telah dirancang dalam perangkat pembelajaran secara eksplisit dan selanjutnya dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

2)   Integrasi Dalam Kegiatan Ekstrakurikler
      Kegiatan ekstrakurikuler pada umumnya merupakan kegiatan pilihan yang disukai oleh siswa. Pada kegiatan ini sangat tepat jika diintegrasikan nilai-nilai budaya dasar bangsa. Nilai-nilai rasa cinta tanah air, kecintaan dan apresiasi terhadap budaya daerah dan nasional, kebersamaan dan kerja sama, kemasyarakatan, sportivitas, kejujuran, sikap ilmiah, kepemimpinan dan kewirausahaan dapat ditanamkan secara optimal melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya nilai-nilai cinta tanah air,  kedisiplinan, dan kesiap-siagaan dapat ditanamkan  pada bidang-bidang  Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (Pleton Upacara, PKS, Pramuka, Pecinta Alam). Nilai-nilai sportivitas, kerja sama, dan semangat pantang menyerah dapat ditanamkan melalui ekstra kurikuler bidang olah raga. Bidang seni, untuk menumbuhkan kecintaan dan apresiasi pada hasil-hasil karya budaya bangsa,  bidang ilmiah untuk menanamkan sikap ilmiah serta  bidang kewirausahaan untuk menanamkan jiwa enterpreneurship.

3)   Integrasi Dalam Budaya Sekolah
Ketentuan-ketentuan dan aturan sekolah, tata tertib, tradisi-tradisi sekolah dapat menjadi salah satu wahana penanaman nilai-nilai budaya bangsa yang akan dikembangkan dalam pembentukan karakter anak didik. Budaya sekolah yang ditentukan perlu bersumber dan berimpit dengan nilai-nilai budaya dasar bangsa. Selain berfungsi sebagai pendorong terbentuknya karakter yang diinginkan budaya sekolah juga dharapkan menjadi salah satu benteng dalam menanggulangi berkembangnya karakter peserta didik yang tidak sejalan dengan budaya dasar bangsa. Misalnya dalam tradisi awal masuk siswa baru berupa masa orientasi siswa, sebaiknya digunakan sebagai tahap inisiasi penanaman nilai-nlai dasar yang  berlaku di sekolah. Tata tertib sekolah atau peraturan kehidupan siswa di sekolah  perlu memasukkan muatan  nilai-nilai  pengembangan karakter budaya bangsa  antara lain rasa cinta tanah air, toleransi antar umat beragama, tata krama, budaya tertib, bersih dan tepat waktu.

b.   Implementasi Strategi  Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Implementasi strategi rekayasa sosial meliputi upaya-upaya penciptaan kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang  mendukung aktualisasi nilai-nilai  yang telah  terinternalisasi dalam diri peserta didik. Upaya-upaya itu berupa  keteladanan atau penciptaan lingkungan teladan,  pembiasaan implementasi nilai-nilai dalam  kehidupan nyata sehari-hari,  penerapan pemberian penghargaan dan koreksi (reward-punishment),  dan sosialisasi dalam organisasi.


1)  Keteladanan
Aktualisasi nilai-nilai yang telah ditanamkan pada peserta didik perlu didukung oleh lingkungan yang memberikan keteladanan. Pengembangan karakter peserta didik sangat memerlukan lingkungan yang sesuai antara nilai ideal dan realitas yang dihadapi. Apa yang dilihat dan didengar lebih berpengaruh pada pengembangan karakter dari pada apa yang dilarang dan apa yang disuruh kepada peserta didik. Keteladanan ini sangat diperlukan dalam ketiga wahana pendidikan yaitu di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah sebagai lingkungan yang harus diciptakan normatif.
Pengembangan  sifat-sifat dan watak yang berkarakter sesuai nilai-nilai budaya bangsa akan lebih efektif dan efisien apabila bersifat top-down, dari atas ke bawah. Misalnya pembentukan disiplin pada peserta didik hanya akan efektif apabila kepala sekolah dan gurunya menjadi teladan dalam disiplin. Apabila meminta siswa datang tepat waktu maka guru harus datang lebih awal. Apabila meminta siswa berpakaian rapi maka guru harus berpakaian lebih rapi.

2)  Pembiasaan Implementasi Nilai-nilai
Karakter  yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa tidak akan terbentuk dengan tiba-tiba tetapi perlu melalui proses dan pentahapan yang kontinyu. Oleh karena itu,  perlu upaya pembiasaan perwujudan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana proses perubahan pada umumnya, proses awal perubahan selalu memerlukan energi yang lebih besar. Proses pembiasaan pada awalnya dimulai  dengan tahap inisiasi dengan memberikan faktor pendorong eksternal yang kuat, sehingga terkesan semacam “pemaksaan” pada tataran tertentu.  Dimulai dengan proses, berlanjut menjadi pembiasaan, yang pada akhirnya faktor penggerak eksternal bergeser menjadi faktor internal, dari diri sendiri. Pada tahap ini berarti  telah terjadi kesesuaian antara nilai-nilai yang  dipahami sebagai konsep diri dengan sikap perilaku yang muncul sebagai karakter.
Pembiasaan yang dilakukan di sekolah diharapkan mendapatkan penguatan dengan pembiasaan di rumah,  kedua-duanya saling menguatkan, demikian pula di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perlu jalinan erat antar pemangku kepentingan pendidikan (stake holders) antara lain  sekolah, orang tua siswa dan komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, instansi pemerintah, masyarakat luas, dan pemerhati pendidikan. Proses pembiasaan ini misalnya implementasi tata nilai hormat kepada orang yang lebih tua harus dilakukan di sekolah antara lain dengan memberikan salam kepada siapa pun baik  kepala sekolah, guru, karyawan, ataupun tukang sapu. Tata nilai ini juga harus dilakukan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini akan mengembangkan karakter menghargai orang lain, tidak bersifat arogan tetapi rendah hati sehingga mudah diterima di setiap lingkungan.

3)   Reward  And Punishment
Untuk mendorong agar perilaku peserta didik sesuai dengan tata nilai dan norma yang ditanamkan perlu dilakukan konfirmasi  antara nilai yang dipahami dan perilaku yang dimunculkan. Apabila peserta didik melakukan yang sesuai yang baik perlu diberikan penghargaan atau pujian.
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan perilaku terhadap tata nilai dan norma perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan dengan memberikan punishment atau sanksi yang sepadan dan bersifat pedagogis  pada peserta didik. Secara bertahap  punishment ini awalnya bersifat preventif atau mencegah terjadinya pelanggaran lebih lanjut dengan memberikan teguran, nasehat, penugasan atau sejenisnya. Selanjutnya pada tingkat yang lebih tinggi dilakukan  represi dalam rangka prevensi agar pelanggaran tidak menyebar pada peserta didik lain. Pada tahap terakhir, jika diperlukan ada tindakan shock therapy untuk pelanggaran yang benar-benar esensial sehingga memberikan efek jera. Namun demikian, seberat apapun punishment diberikan harus dilakukan upaya perbaikan atau pembinaan untuk rehabilitasi dan resosialisasi. Misalnya terlambat masuk kelas awalnya diberikan punisment berupa teguran, atau diberi suatu tugas. Apabila keterlambatan terjadi lagi perlu diberikan tindakan disiplin yang akan mencegah siswa lainnya   untuk melakukan kesalahan yang sama. Pelanggaran-pelanggaran esensial seperti  terlibat dalam penggunaan narkoba, tindak kekerasan atau perbuatan yang melanggar hukum dan tindak kriminal perlu dilakukan shock therapy  misalnya skorsing atau bahkan dikeluarkan.
Peserta didik yang melakukan kebaikan dan menunjukkan prestasi diberikan penghargaan atau pujian. Untuk memberikan sugesti dan dorongan positif agar memiliki karakter yang baik perlu dilakukan tradisi pemberian penghargaan pada siswa-siswa yang berprestasi terbaik tidak hanya di bidang akademik saja tetapi juga siswa yang  kepribadiannya  terbaik yang ditentukan berdasarkan kriteria atau parameter tertentu yang terukur.

4)  Sosialisasi Dalam Organisasi
Peserta didik adalah aset bangsa yang diharapkan akan menjadi kader penerus pembangunan di masa depan. Salah satu potensi yang menjadi aset generasi muda adalah  potensi kepemimpinan. Potensi ini perlu diarahkan pada potensi kepemimpinan yang sesuai dengan karakter budaya bangsa. Karena itu perlu direkayasa kondisi pendidikan yang memberikan peluang berupa tugas, tantangan, persoalan dan situasi yang dapat mengaktualisasikan potensi kepemimpinan dan perilaku berorganisasi peserta didik. Penciptaan kesempatan yang luas untuk dapat berlatih kepemimpinan dan organisasi penting karena akan terjadi interaksi efektif antar peserta didik. Aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa seperti budaya demokrasi, musyawarah mufakat, gotong royong, kekeluargaan, kebersamaan dan sekaligus kemampuan manajerial seperti perencanan, pengorganisasian, pengambilan keputusan, solusi konflik dan pengawasan  akan dapat dikembangkan dengan optimal.
Misalnya  tugas ketua kelas dilakukan secara bergilir agar setiap siswa pernah merasakan menjadi pemimpin (leader) dan anggota (member). The good leader berasal  dari the good member.  Pengalaman secara langsung memimpin dan dipimpin ini sangat penting bagi pengembangan potensi kepemimpinannya yang kelak akan berguna dalam dunia karier dan pengabdiannya. Sekolah perlu memberikan kesempatan memimpin  organisasi dan berdemokrasi melalui  OSIS dan Perwakilan Kelas secara sungguh-sungguh. Selain  itu perlu diberikan kegiatan-kegiatan yang melibatkan berbagai kepanitiaan siswa untuk memberikan peluang secara bergantian melaksanakan  kegiatan organisasi antara lain kegiatan peringatan hari besar  nasional.





8.  Tahapan Implementasi
      Proses pembentukan karakter budaya bangsa pada peserta didik tidak dapat dilakukan secara cepat dan tiba-tiba, tetapi perlu dilakukan dengan tahapan-tahapan berjenjang mulai dari penanaman, penumbuhan, pemantapan dan pengembangan.

     a.  Tahap Penanaman.
          Dalam tahap ini ditanamkan  nilai-nilai kebaikan agar menjadi kebiasaan, yaitu nilai-nilai yang ada dalam hidup dan kehidupan baik dalam kehidupan di rumah, di sekolah maupun di masyarakat, seperti nilai-nilai kebaikan, misalnya mengapa kita harus menghormati orang lain, mengapa kita harus membantu orang lain dan sebagainya. Di samping itu juga perlu ditanamkan tentang nilai-nilai keagamaan, kesopanan, kebangsaan, kejuangan dan nilai-nilai yang lainnya sesuai dengan tingkatan usia atau tingkatan pendidikan anak. Dalam tahap penanaman ini anak dibiasakan berbuat kebaikan.  Dalam membiasakan anak berbuat kebaikan aspek keteladanan dengan prinsip ing ngarsa sung tuladha adalah penting dan sangat diperlukan, karena faktor ini akan menjadi landasan yang fundamental anak dalam menginternalisasi nilai-nilai yang sedang atau telah diterima dari lingkungan di mana ia berada. Agar nilai-nilai yang ditanamkan benar-benar melekat dalam diri anak, maka perlu diulang-ulang (repetiiton) sampai anak-anak tersebut tahu, mengerti dan memahami apa yang diterima dan apa manfaatnya sehingga ia dapat melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

    b.  Tahap Penumbuhan.   
          Nilai-nilai yang telah ditanamkan tadi kemudian ditumbuhkan. Dalam tahap penumbuhan ini anak diberikan tanggung jawab sesuai dengan tingkatan perkembangan usianya, sehingga nilai-nilai yang diharapkan dapat tumbuh dan hal tersebut akan melekat dalam dirinya dan menjadi jati dirinya, sehingga terbentuklah karakternya. Karena isi dan makna dari nilai-nilai tersebut telah diinternalisasi dan dilaksanakan maka nilai tersebut akan menjadi budaya, yaitu sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, kalau tidak dilaksanakan maka ia akan merasa tidak enak. Inilah sebenarnya yang disebut dengan terbentuknya karakter dan budaya pada diri anak. Dalam hal ini orang tua, guru atau pendidik memberikan penguatan atau pembimbingan (Ing madya mangun karsa) pada saat anak melakukan atau melaksanakan kegiatan yang memuat nilai-nilai yang sedang ditumbuhkan oleh orang tua, guru atau pendidik. Kemudian Tut Wuri Handayani yaitu memberi kebebasan yang bertanggung jawab.

    c.  Tahap Pengembangan.
          Dalam tahap ini, nilai-nilai yang telah ditanamkan dan ditumbuhkan pada diri anak perlu dikembangkan menjadi nilai-nilai diri, artinya nilai-nilai yang sudah menjadi satu dalam dirinya yang tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap ini anak diberikan tugas dan tanggung jawab, di samping tanggung jawab untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga dikembangkan tanggung jawab untuk kepentingan orang lain sesuai dengan umur atau jenjang pendidikan. Dalam hal ini anak dapat diberi tugas-tugas seperti misalnya tugas-tugas dalam OSIS, Perwakilan Kelas, koperasi sekolah, panitia-panitia peringatan hari-hari besar nasional, peringatan hari-hari besar keagamaan dan lain-lain yang menunjang pengembangan diri anak. Melalui tahap pengembangan ini anak akan belajar mengaktualisasikan diri dalam bentuk kegiatan nyata dalam kehidupan yang berguna bagi diri sendiri maupun berguna  bagi orang lain. Dalam tahap pengembangan ini perlu diperhatikan agar tidak melupakan keseimbangan antara pengembang aspek cipta, rasa dan karsanya. 

     d.  Tahap Pemantapan.
     Nilai-nilai yang sudah ditanamkan, ditumbuhkan dan dikembangkan kemudian dimantapkan. Dalam tahap pemantapan ini anak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk melakukan kegiatan yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan dalam masyarakat, tentunya kegiatan ini disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya yaitu SMA. Dengan tahap pemantapan ini diharapkan anak-anak sudah siap untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

9.     Pendekatan Dalam Implementasi Pembentukan Karakter
            Pelaksanaan pendidikan karakter budaya bangsa perlu menggunakan pendekatan-pendekatan yang dapat memudahkan  pencapaian tujuan. Pendekatan ini dilakukan agar peserta didik sebagai subyek dalam pengembangan karakter menjadi dekat dengan   obyek atau sasaran kegiatan  yaitu implementasi nilai-nilai budaya sehingga pelaksanaannya menjadi lebih jelas, mudah dan hasilnya optimal.  Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan antara lain :
a.  Pendekatan dengan Sistem Among, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, yang dilandasi oleh asas kekeluargaan, yaitu saling asah, saling asih dan saling asuh di antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan guru dengan guru yang berjalan secara sinergis. Jadi, guru dalam mendidik dan mengajar di depan hendaknya dapat memberi dan menjadi contoh teladan, di tengah memberi penguatan, perhatian dan bimbingan, sedangkan di belakang memberi dorongan dan mengingatkan bila anak melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya dan keluar dari konteksnya, namun tidak dibenarkan bila mencela atau mematahkan semangat yang dapat membuat anak menjadi patah semangat atau putus asa, karena hal ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak.  
b. Pendekatan inspiratif, yaitu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai dengan menciptakan situasi atau kegiatan yang mampu memberikan inspirasi pada diri siswa, seperti misalnya memberikan cerita tentang tokoh-tokoh pahlawan atau orang-orang yang berhasil yang memiliki karakter baik yang bisa dicontoh, melalui jumpa tokoh nasional dan lain-lain, sehingga anak-anak terinspirasi akan keberhasilan para tokoh tersebut. Nilai-nilai yang terdapat dalam diri tokoh akan keberhasilannya atau keteladanannya akan diinternalisasi ke dalam dirinya sehingga menjadi nilai diri. Dari nilai-nilai yang telah terinternalisasi menjadi nilai diri tersebut akan mendorong tumbuh dan berkembangnya karakter dan budaya anak.
c.  Pendekatan keteladanan, yaitu sikap teladan yang tercermin dalam diri orang tua atau guru yang nampak dalam sikap perilaku dalam kehidupan sehari-hari, yaitu adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh orang tua atau guru. Jadi apa yang diucapkan hendaknya sama dengan apa yang dilakukan, baik saat kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah karena hal ini akan dilihat dan di dengarkan langsung oleh anak-anak.
d.  Pendekatan intelektualistik, yaitu pendekatan yang dilakukan melalui pengajaran di kelas, berupa upaya-upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran, sehingga secara kognitif anak memiliki pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai tersebut secara efektif pada derajat kemampuan tertentu, dengan demikian anak dapat menerima dan melaksanakan sistem nilai yang telah ditanamkan.
e.  Pendekatan aktualistik, yaitu anak akan mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah menjadi bagian dari dirinya melalui berbagai kegiatan nyata yang diberikan kepada anak. Dalam hal ini anak akan melakukan kegiatan-kegiatan kongkrit yang ada dalam kehidupan. Melalui pendekatan aktualistik ini anak akan membiasakan diri untuk mengembangkan sikap dan perilaku dalam kehidupannya sesuai dengan tata nilai yang ada dalam masyarakat.
 f. Pendekatan eksemplar, yaitu anak dibawa ke dalam dunia nyata yang ada dalam lingkungan kehidupan di sekitarnya sehingga anak dapat menghayati nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sekitarnya. Dengan penghayatan ini diharapkan anak dapat memahami kehidupan nyata, apa yang boleh dan harus dilakukan serta apa yang tidak boleh dilakukan ia sudah dapat membedakannya. Kegiatan ini untuk menumbuhkan rasa keterpanggilan diri terhadap kehidupan lingkungan, sehingga bila terjadi sesuatu yang ada di sekitarnya anak merasa terpanggil atau tergugah hatinya untuk ikut membantunya. Seperti misalnya membantu gotong royong dalam kerja bakti di masyarakat, membantu tetangga yang sedang tertimpa musibah, membantu kegiatan siskamling, donor darah, Latihan Kemasyarakatan di daerah yang miskin atau daerah terpencil yang kurang maju, bakti sosial, pasar murah, home industri, dan lain sebagainya. 
Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat, yang hasilnya juga dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Kegiatan semacam ini akan memberikan dampak yang sangat positif dalam pengalaman hidup anak-anak di dunia yang nyata, dan diharapkan di dalam dirinya akan tumbuh jiwa sosial dan jiwa pengabdian. Dengan demikian diharapkan anak akan memiliki sikap dan kemampuan untuk mau mengabdikan dirinya kepada masyarakat, bangsa dan negara.






IV.  SIMPULAN DAN REKOMENDASI


10.      Simpulan   

Berdasarkan pembahasan di atas dapat kita tarik beberapa simpulan mendasar sebagai berikut.
a.      Pendidikan karakter bangsa merupakan tuntutan mutlak, tidak dapat ditawar-tawar dan mendesak untuk segera dilaksanakan mengingat kondisi objektif bangsa Indonesia saat ini, dengan gejala sosial negatif di semua lini kehidupan menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Jika hal ini dibiarkan, dapat berakibat munculnya kerawanan konflik sosial yang meluas yang bermuara pada terjadinya disintegrasi bangsa dan bahkan mengancam eksistensi  dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Pendidikan karakter bangsa harus dilaksanakan secara sistemik dan berkesinambungan, sejak dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai dengan pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan karakter bangsa tidak dapat dilakukan secara parsial atau oleh kalangan tertentu saja, melainkan merupakan satu kesatuan sistem yang terpadu dari semua jenjang pendidikan dan terintegrasi dalam tripusat pendidikan, yakni pendidikan informal dalam keluarga, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan nonformal dalam masyarakat.
c.      Perlu disadari bahwa hasil pendidikan karakter bangsa tidak dapat dipetik secara instan atau jangka pendek. Keberhasilan pendidikan karakter bangsa, sebagaimana pembentukan karakter pada umumnya yang bersifat mentalistik dan berupa perilaku jiwa dan raga, maka hasilnya merupakan “investasi” jangka panjang, melalui proses berkesinambungan sepanjang hayat. Keberhasilan pendidikan karakter bangsa memerlukan kontinuitas, konsistensi, dan komitmen kuat dari segenap pemangku kepentingan (stake holders).
d.      Pendidikan karakter bangsa hakikatnya merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional. Proses pendidikan karakter bangsa memerlukan keterlibatan semua pihak untuk bekerja sama secara terpadu, bahu-membahu secara sinergis, dan komprehensif. Untuk itu diperlukan aturan main dan legalitas formal yang disepakati bersama, sebagai pedoman baku yang mengikat bagi segenap pihak. Legalitas ini perlu segera disosialisasikan secara luas agar dipahami secara tepat dan benar.
e.      Konsep dan substansi pendidikan karakter bangsa perlu dirumuskan berupa butir-butir nilai praksis yang konkret dan mudah dipahami semua lapisan masyarakat dengan keragaman tingkat pengetahuan dan latar belakang pendidikan, sebagai kesepakatan yang menjadi parameter dalam pelaksanaan operasionalisasi di lapangan. Dengan demikian, standar pencapaian hasil pendidikan karakter bangsa tersebut tidak mengalami bias yang justru dapat berdampak negatif.
   
11.  Rekomendasi

  1. Dalam mencapai keberhasilan pendidikan karakter bangsa diperlukan komitmen dan kesepakatan yang bulat dari semua pemangku kepentingan pendidikan dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah. Sudah saatnya core business pendidikan kita berubah dari paradigma intelektualistik menuju ke paradigma mental dan pendidikan karakter bangsa secara komprehensif.
  2. Pemerintah sebagai pemegang regulasi memiliki kewajiban menentukan kebijakan, dan arah yang jelas sebagai pegangan dan pedoman mengenai pendidikan karakter bangsa untuk semua jenjang pendidikan.
  3. Panduan dan pedoman pendidikan karakter bangsa segera disosialisasikan melalui berbagai forum yang dilakukan oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa.
  4. Sudah saatnya segera diciptakan kesinambungan, sinergi, dan kerja sama yang kondusif dari para pengelola dan pelaku pendidikan dari tingkat prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, sampai dengan di tingkat pendidikan tinggi mengenai pendidikan karakter bangsa tersebut.
  5. Setiap satuan pendidikan perlu memahami esensi pendidikan karakter bangsa dari aspek konsep dan teoretik sampai dengan strategi dan implementasinya di lapangan.
  6. Setiap sekolah perlu memiliki nilai unggulan yang akan menjadi slogan sekolah sebagai pemandu arah semua kegiatan di sekolah.
  7. Sekolah perlu mengembangkan budaya sekolah yang merupakan nilai-nilai etik dan kehormatan siswa yang akan membingkai sikap, dan perilaku  siswa.
  8. Untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme agar menjadi bagian dari dirinya, sekolah perlu melakukan upaya-upaya konkret seperti memasang bendera merah putih di setiap sudut ruangan kelas, membiasakan menghormat bendera setiap masuk kelas, memutar lagu-lagu kebangsaan pada setiap ada waktu yang tepat, memasang gambar tokoh pahlawan nasional, dan sebagainya.
  9. Sekolah perlu ada kegiatan  tradisi kehidupan siswa yang dapat memupuk jiwa nasionalisme, kebangsaan, kebersamaan, jiwa kewirausahaan, tradisi berprestasi dan sebagainya yang dapat memotivasi siswa untuk berbuat yang terbaik.
      j.  Di setiap sekolah perlu ada pembinaan alumni secara terpadu, sehingga mereka punya rasa ikut memiliki almamaternya, hal ini akan berdampak positif bagi pengembangan dan kemajuan sekolah.         



















DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dewantara, Ki Hadjar.1961.Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Dewantara, Ki Hadjar.1967. Bagian Kedua Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Goelman, Daniel. 2006. Social Intelligence . New York: Bantam Deli.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pedoman Pengembangan Pendidikan Pembentukan Karakter dan Budaya Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Lembaga Perguruan Taman Taruna Nusantara. 2007. Kurikulum Khusus SMA Taruna Nusantara. Jakarta: LPTTN.

Lembaga Perguruan Taman Taruna Nusantara. 2007. Pedoman Penilaian Bidang Kepribadian Siswa SMA Taruna Nusantara. Jakarta: LPTTN.


Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.

Sekretariat Negara. 2010. Pokok-Pokok Sambutan dan Pengarahan Presiden Republik Indonesia Pada Puncak Peringatan Hardiknas. Jakarta: Istana Negara 



---





No comments:

Post a Comment