Tuesday, 9 August 2011

Proses Pembuatan bio-etanol


Gambar : Singkong (salah satu bahan pembuatan bioetanol)
Pembuatan ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel berikut.

Tabel  Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-Ethanol
Bahan Baku
Kandungan Gula
Dalam Bahan
Baku
Jumlah Hasil
Konversi
Perbandingan
Bahan Baku
dan
Bioetanol
Jenis
Konsumsi
(Kg)
(Kg)
Bio-etanol
(Liter)
Ubi Kayu
1000
250-300
166.6
6,5:1
Ubi Jalar
1000
150-200
125
 8:1
Jagung
1000
600-700
200
5:1
Sagu
1000
120-160
90
12:1
Tetes
1000
500
250
4:1

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian,  proses pembuatannya    dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan         kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa    asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisaenzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.     Reaksi yang terjadi pada         proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
H2O + (C6H10O5)n  + Enzyme   -------->   n C6H12O6                      (1)
                (pati)                                               (glukosa)
(C6H12O6)n  +   yeast (ragi)      --------->   2C2H5OH   +    2 CO2    (2)
(glukosa)                                                       (ethanol)

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bio­ethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.

Secara       singkat teknologi proses          produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.
a.    Proses Gelatinasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1)     Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 1/4 jam. Temperatur 95oC tersebut dipertahankan selama sekitar 1 1/4 jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
2)     Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 130oC selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah          granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme.Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.

Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC. Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit. Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.

b.      Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.

Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2).          Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column.

Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada temperatur 15o C.

Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka akohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.

c.        Distilasi
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.
Gambar :  Proses Destilasi atau Penyulingan pada bioetanol

0 comments:

 
Design by FreeWordpress Themes | Bloggerized by Lashanta - Premium Blogger Themes | Ilo Kimia Wk, SMA TN 35