Monday 31 October 2011

Perlukah Pendidikan Karakter Dinyatakan Dalam Indikator Hasil Belajar?


Haruskah pendidikan karakter dirumuskan dalam indikator pembelajaran di silabus dan RPP?  Sebagian ahli pendidikan menyatakan bahwa karakter sebaiknya tidak dinyatakan dalam bentuk indikator kompetensi pencapaian belajar, cukup di kegiatan pembelajaran. Alasannya, bila dimasukkan dalam indikator, maka guru harus membuat alat penilaian yang mengukurnya.
Sebagian ahli menyatakan bahwa pendidikan karakter wajib dinyatakan dalam indikator komptensi pencapaian hasil belajar dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Karena itu, harus dapat di ukur. Adakah juknis yang dapat menjadi pegangan guru dalam melaksanakan pembelajaran  tentang karakter? Atau, bagaimana sebaiknya?
Pernyataan dan pertanyaan itu terungkap dari Bu Novi salah satu rekan kita yang berkunjung di GP. Saya mengangkat pernyataan dan pertanyaan tersebut dari komentar ke halaman ini  untuk menjawabnya dengan harapan dapat dibaca pula oleh rekan kita yang lain.



Sebelum kita menjawab masalah itu, kita memerlukan beberapa informasi yang berkaitan dengan itu. Pertama, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, begitu menurut USPN 20/2003. Menurut Bloom, pendidikan meliputi ranah kognitive, psichomtor, dan affective.
Dari dua kaidah di atas, dapat kita nyatakan bahwa pendidikan, pendidikan karakter, wajib dilaksanakan secara sadar dan terencana dengan tujuan siswa dapat mengembangkan potensi dirinya. Pernyataan mengembangkan potensi dirinya berarti pendidikan harus membuat siswa aktif. Proses pendidikan dapat menjadi pemicu dan pendidik menyaksikan siswa berkembang karena inisiatif yang muncul dari dalam dirinya bukan karena dipaksakan dari luar.
Secara hakiki karakter berkembang menyatu dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang tumbuh dalam diri siswa dalam prilaku yang kita namakan kompetensi  melalui proses belajar. Jika kita mendapatkan dapati bahwa kompetensi berarti adalah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai sebagai kinerja yang berpengaruh terhadap peran, perbuatan, prestasi serta pekerjaan seseorang  yang teramati sebagai produk belajar.
Dengan demikian karakter muncul dan menyatu dalam prilaku siswa dalam cara siswa berpikir, berbicara, berindak, mengekspresikan pikirannya dalam tulisan, dalam kedisiplinan, sopan santun, kejujuran, dan banyak lagi. Pemikiran ini menyatakan bahwa sesungguhnya pendidikan karakter itu telah kita lakukan selama ini  sepanjang waktu. Hanya, saja kita sering kurang sadar untuk memperhatikan  secara formal bagaimana hal itu direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai.
Hal lain yang menarik dari masalah perlu tidaknya pendidikan karakter dinyatakan dala indikator pencapaian hasil belajar. Kita dapat membedakan antara istilah pendidikan karakter dan pengajaran karakter. Yang diperlukan dalam pendidikan adalah usaha sadar dalam mewujudkan suasana belajar.
Jika dilihat dari dimensi pendidikan yang dilakanakan di sekolah, maka pendidikan itu memerlukan kesadaran untuk mendapat dukungan kebijakan tingkat sekolah yang mengembangkan suasana sekolah yang memungkinkan tumbuhnya karakter siswa seperti yang sekolah kehendaki. Untuk dapat membangun sikap siswa yang mudah diarahkan, ramah, berbahasa santun, disiplin dan lain sebagainya. Di sini memerlukan keteladanan kepala sekolah, para guru dalam membangun model interaksi sosial di sekolah yang berkaraker.
Para guru memiliki tugas sebagai pendidik. Penekanan pada ranah ini berarti karakter siswa dibangun melalui apa yang dapat guru tunjukkan. Siswa belajar dari yang guru kejakan, bukan dari apa yang guru katakan. Dalam proses pendidikan seperti ini jelas tidak memerlukan rpp, yang diperlukan adalah contoh dari guru seperti biasa membaca, biasa menulis, datang tepat waktu, mengahiri tugas tepat waktu, bicara sopan, berkata jujur sehingga guru menjadi teladan.
Dalam proses pengajaran guru dapat memasukan pendidikan karakter dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Ini berati guru wajib mengukurnya. Pengukuran karakter tentu berbeda dengan pengukuran kognitif. Pengukuran karakter salah satunya dilakukan dengan cara mengobservasi yang direkam dalam bentuk format acuan penilaian dengan menggunakan skala sikap.
Pilihan yang kedua guru mengintegrasikan pendidikan karakter secara implisit dalam proses pembelajaran. Hal ini memiliki konsekuensi guru wajib sadar pula untuk mengembangkan karekter seperti apa  yang akan diintegrasikan itu. Contohnya guru memberi tugas kepada siswa untuk membuka alamat web untuk mendapatkan informasi tertentu. Sebagai guru tentu mengharapkan siswa melakukan tugas itu dan  jujur dalam melakukannya. Untuk kepentingan itu, guru menguji kebenaran apa yang siswa lakukan.
Dalam pelaksanaan tugas itu, guru tidak mencantumkan indikator kejujuran dalam rpp. Namun, guru menguji kejujuran dan objektivitas siswa dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan demikian dituliskan dalam bentuk indikator dan tidak dituliskan bukan pilihan benar salah, melainkan menjadi model pendekatan yang dapat guru pilih. Namun memilihnya harus secara sadar dan dengan bekal kesadaran itu, maka guru dapat menetapkan hasil kerjanya dan menginformasi kepada orang tua. Itulah sebabnya dalam rapot ada lembar laporan kognitif dalam bentuk hasil penilaian kuantitatif dan terdapat lembar laporan penilaian sikap dalam bentuk kualitatif.
Jadi, indikator pencapaian pendidikan karakter boleh dieksplisitkan atau diimplisitkan. Yang tidak boleh guru tinggalkan adalah menilai perkembangan karakter siwa. Hasil penilaian sepatutnya dicatat sebagai akantabilitas menjalankan fungsi guru sebagai pendidik.

Sumber : http://gurupembaharu.com/home/?p=11637

0 comments:

 
Design by FreeWordpress Themes | Bloggerized by Lashanta - Premium Blogger Themes | Ilo Kimia Wk, SMA TN 35